Tokoh ludruk, Kartolo, mementaskan Kartolo Mbalelo di Taman Ismail Marzuki. Benar-benar suara hati wong cilik.
(TEMPO) Umur Cak Kartolo kini 64 tahun. Tapi lihat betapa dia awet enom alias awet muda. Wajahnya dari dulu ya begitu. Tak tambah kurus, tak kelihatan lebih gemuk. Brengos (kumis)-nya masih tebal. Sahabatnya, jawara ludruk Surabaya, sudah banyak yang almarhum: Cak Kancil, Cak Basman, Cak Sokran, Cak Blonthang. Tinggal dirinya yang masih tersisa dari generasi golden age ludruk, 1980-an. Tapi jula-julinya, diancuk, masih segar. ”… Aku kepengen dadi pegawai negeri sebab bayarane iku yo wis mesti, aku bakal nglakoni jujur nggak sampai korupsi. Kadang-kadang gur ono sing lali….” Kartolo jarang-jarang ke Jakarta. Namun, sekalinya datang, ia membuat perut kita mulas karena terlalu banyak tertawa. Lihatlah bagaimana Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jumat dua pekan lalu, seolah dilanda gempa karena orang ngakak terus menerus. Itulah pentas Kartolo Mbalelo. ”Enggak ngerti bahasa Jawa aja udah lucu, apalagi ngerti,” komentar seorang penonton.
Kartolo dikenal mengandalkan spontanitas di panggung. Ia tak mau mengulang kalimat-kalimat lawakannya yang sudah sering ia keluarkan. Ia selalu berusaha mencari parikan-parikan yang baru. Ia menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan-Malang yang kasar: nggatheli, mbadog, congor, diancuk…. Ia berbicara tentang hal-hal sederhana, yang berangkat dari pengalaman rakyat sehari hari pengalaman yang bisa dicerna, dari tukang becak, sopir angkot, sampai gembelgembel. ”Aku wedi nek manggung nggarap partai politik, wedi kalah lucu.” Itu pernyataan jujur Kartolo. Memang jarang pentasnya berpretensi menyindir atau mengkritik kekuasaan. Butet Kartaredjasa dan Sujiwo Tejo berhasil menggaet Kartolo masuk konteks itu. Pentas Kartolo malam itu penuh dengan guyonan, mulai bocornya tabung gas, kemacetan Ibu Kota Jakarta, tata tertib lalu lintas, sogokan terhadap aparat kepolisian, hingga tingkah polah para wakil rakyat. ”Ora usah kakean cangkem. Opo-opo kok fatwa, tuku bensin fatwa, ngrokok fatwa, diancuk! Sing penting ki atine seneng,” kata Butet Kartaredjasa, selaku produser, mengawali pementasan. Kartolo digoda oleh Merlyn yang menjadi bidadari
Sujiwo Tejo, selaku sutradara, membuat panggung sebagai campuran antara pentas ludruk dan musikal-musikalan. Mengenakan topi laken, ia mulanya meniup saksofon dengan latar set bulan purnama. Tiga penari dengan gaya breakdance ala 1980-an, lengkap dengan tape recorder, kemudian masuk kepanggung. Tak dinyana, begitu tape diputar, musik pengiring tari Remo (tarian pembuka ludruk) mengalun. Dan mereka pun kompak menarikan tari Remo, bukan breakdance. Sontak penonton nyengir. ”Diamput! Tak kiro arep breakdance,” ujar Yudo, salah satu penonton.Dan sepanjang pentas yang musiknya dikomandani Djaduk Ferianto kita melihat sebuah pertunjukan yang campur-baur. Ada waria, ada pencak silat, ada ludruk, ada jazz, ada Denpasar Moon, ada campur sari Turi-turi Putih, ada nyanyian Sujiwo Tejo. Inilah awal pembukanya: Cak Sapari masuk ke panggung dan disambut dengan salam dan pelukan hangat dari Cak Kartolo. ”Ben koyo pejabat to, nek ketemu ki ngene, pelukan, ciuman pipi,” ujar CakKartolo.
● ● ●PLOT pertunjukan malam itu sesungguhnya sederhana. Kartolo memerankan dirinya sendiri. Kartolo Mbalelo bercerita mengenai Kartolo yang mendapat undangan pentas di hadapan politikus ternama, Cak Lontong. Kedekatan Kartolo dengan wong cilik membuat Cak Lontong ingin meminangnya di panggung politik. Kartolo menampik tawaran itu. Iming-iming jabatan yang tinggi serta uang ratusan juta pun ditawarkan Cak Lontong. Istri Kartolo, Yu Ning yang sehari-hari memang istri Kartolo (Ning Kastini) dan Cak Sapari, sahabat dekat Kartolo, pun membujuk Kartolo. ”Aku males nek menghibur parpol, wong-wong politik ki plinplan,” kata Kartolo menghadapi desakan istrinya. Permainan Cak Lontong cukup tangkas. Sindiran-sindiran politiknya bernas. Celetukan-celetukan komedian tinggi besar alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu lebih legit daripada penampilannya sebagai menteri di seri Republik Mimpi Indosiar. Apalagi saat ia meng-kuyo-kuyo Rohana ”Srimulat”, sekretarisnya. Badan kecil Rohana yang kontras dengan Cak Lontong menjadi bahan bakar lelucon. Permainan Rohana pun lebih lucu daripada suaminya, Nurbuat, yang malam itu menjadi anggota partai politik Cak Lontong. Adegan kocak lain adalah saat Kartolo melakukan tapa brata. Ia menjelma menjadi Sakerah, sosok jagoan legendaris asal Pasuruan yang gigih melawan penjajahan. Dalam adegan ini, muncul para waria, termasuk Ratu Waria se Indonesia, Merlyn, yang berperan sebagai bidadari. Para bidadari ini terus menggoda Kartolo dengan berbagai rayuan, dari tawaran kekayaan hingga urusan ranjang. Sujiwo Tejo sengaja menggandeng Merlyn. ”Saya tampilkan bencong-bencong karena bencong itu ciri khas ludruk,” kata Sujiwo Tejo. Kehadiran Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. sebagai bintang tamu tak menyurutkan sentilan-sentilan bagi para politikus. Meski terlihat kaku, penampilan Mahfud tak membuat pementasan kendur.
Yang membikin gemas adalah pemunculan penyanyi dangdut asal Pasuruan, Inul Daratista. Penampilannya seksi. Ia merayu Kartolo, mengajak selingkuh. Namun Kartolo tetap setia kepada Yu Ning, istrinya. Inul melantunkan tembang dangdut dan mendemonstrasikan goyang ngebornya. Lagu-lagu ringan, seperti Karmila, dan lagu dari band Kuburan berjudul Lupa-lupa Ingat yang diubah liriknya pun menjadi sarana untuk menyindir politikus: ”Lupa, lupa-lupa-lupa, lupa lagi janjinya. Ingat, ingat-ingat-ingat, cuma ingat duitnya….”
Pementasan yang beberapa kali mengalami perubahan naskah ini juga dimeriahkan oleh penari Banyuwangi, Acapela Madura, Gladi Tari Gajah Mada, dan Perguruan Silat Tiga Berantai. Kehadiran Perguruan Silat Tiga Berantai cukup memukau penonton melalui adegan silat di akhir pertunjukan. Jurus-jurus silat diperlihatkan oleh anggota Perguruan Silat Tiga Berantai, yang piawai, ketika Kartolo digambarkan berubah menjadi Sakerah. Beberapa kendala selama pementasan, seperti matinya clip on microphone serta suara-suara dari musik yang mengganggu, tak mengurangi kenyamanan penonton. Terlebih para pemain dengan piawai menyiasati gangguan-gangguan teknis itu dengan improvisasi-improvisasi tak terduga. Saat tiba-tiba loudspeaker salah volume dan menimbulkan gludag-gludug sember yang sangat keras, Cak Sapari spontan mengatakan, ”Awas, awas, Amerika datang….”
Hal itu membuat terbahak semua penonton, termasuk Garin Nugroho. Garin mengatakan kolaborasi Sujiwo Tejo dan Butet Kartaredjasa sangat pas. Sujiwo Tejo sendiri mengatakan mulanya sangat sulit mengajak Kartolo masuk konteks politik. ”Saya tidak suka politik, saya tidak bisa kalau bicara politik yang serius,” ujar Cak Kartolo. ”Padahal, dalam naskah yang ditulis Agus Noor, sudah digambarkan bagaimana Kartolo yang jujur menolak mentahmentah terlibat politik. Namun, ketika itu dibicarakan dengan Cak Kartolo, dia tetap menolak berbicara apa pun soal politik,” kata Sujiwo Tejo. Alhasil, untuk menyiasatinya, Sujiwo Tejo pun membelokkan peran tersebut ke pemain lain, Cak Lontong dan Cak Fatah.
● ● ●KUCLUK. Istilah orang Jawa Timur tentang perangai yang konyol mungkin pas untuk menggambarkan resep parikan dan lawak Kartolo: logika bengkok, ungkapan-ungkapan paradoks, serta perbuatan-perbuatan yang goblok dan tak masuk akal, seperti mangan neker (makan kelereng) dan kleleken timbo (tersedak lantaran menelan timba). Rohaniwan Sindhunata, SJ, pernah mengatakan lawakan-lawakan Kartolo digemari rakyat kecil karena sesungguhnya mengajak orang menertawai dan mengejek hal-hal bloon dan kesalahan yang sering mereka lakukan dalam hidup sesuatu yang membuat orang akhirnya menjalani hidup yang keras sehari-hari dengan santai. Kartolo lahir di Watuagung, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, pada 1946. Sulung dari empat bersaudara keluarga Aliman dan Payanah itu melewati masa kecil di desa kelahirannya, daerah pertanian di sekitar kawasan Taman Safari. Debutnya di dunia ludruk dilakukan saat ia lulus dari sekolah rakyat pada 1958. Ia ikut grup Margo Santoso, kelompok ludruk di desanya, sebagai penabuh gamelan. Dinilai berbakat, akhirnya Kartolo ditarik menjadi pemain. Kartolo kemudian malang-melintang di banyak grup ludruk. Ia pernah bergabung dengan rombongan ludruk Panca Tunggal, Pandaan, Pasuruan; Dwikora, binaan Zipur V Malang; ludruk Gajah Mada binaan Marinir di Surabaya; ludruk Tansah Tresno dan Bintang Surabaya; ludruk Jombang Selatan; dan ludruk Radio Republik Indonesia Surabaya. Di RRI itu ia jatuh cinta pada Kastini, yang kemudian menjadi istrinya. Yang sangat fenomenal adalah kaset- kaset Kartolo. Pada 1980-an, Kartolo merekam kidungan parikannya lebih dari 95 volume. Awalnya adalah kolaborasi dengan Karawitan Sawunggaling Surabaya pimpinan Nelwan’S Wongsokadi. Mereka masuk dapur rekaman untuk merekam kidungan parikan diselingi guyonan. Di luar dugaan, sambutan masyarakat Jawa Timur luar biasa. Album barunya senantiasa ditunggu penggemarnya. Kasetnya yang paling awal adalah Peking Wasiat, Welut Ndas Ireng, dan Tumpeng Maut. Tapi semua itu tanpa royalti dan Kartolo sampai kini tak peduli dan tak menuntut apa-apa. Kelompok Kartolo cs mulanya terdiri atas enam orang: Cak Kartolo, Ning Tini, Yakin, Bu Sumilah, Munawar, dan Sapari. Kemudian terjadi pergantian pemain, yaitu Yakin dan Bu Su milah digantikan Sokran dan Basman yang tak lain mertua Kartolo. Kemudian Munawar meninggal. Ketika Sokran pun meninggal, bergabung lagi seorang pemain sebagai penggantinya, yaitu Slamet. Terakhir, Basman juga meninggal, sehingga anggota kelompok ini tinggal empat orang: Cak Kartolo, Ning Tini, Sapari, dan Slamet. Dan malam itu kita masih melihat kekompakan Kartolo, Cak Sapari, dan Ning Tini. Mereka seolah berikrar sampai mati mempertahankan ludruk, dan menyuarakan suara hati orang-orang yang dianggap sampah: para banci, waria, dan sebagainya. Mereka tampil apa adanya, tanpa takut dicap ndesit, norak, atau kampungan, tak risi dianggap tak ”makan sekolahan”. Terasa mengharukan melihat persahabatan sehidup- semati Cak Kartolo dan Cak Sapari. Malam itu kita tiba-tiba melihat sebuah energi. Energi kejujuran, sekaligus energi kebersahajaan. Yu Painten kleleken jendelo Cekap semanten kidungan kulo.
Suryani Ika Sari - TEMPO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Komentar Anda Tidak Menyinggung SARA...