Minggu, 27 Juni 2010

Prof. Dr. Otto Sumarwoto, Pejuang Lingkungan

Prof. Dr. Otto Sumarwoto, seorang tokoh lingkungan, putra terbaik bangsa yang tak ternilai lagi karya-karyanya dan peranannya dalam memberikan solusi dalam penanganan lingkungan hidup. Pria kelahiran Purwokerto pada 19 Februari 1926 sepanjang hidupnya diabdikan untuk kelestarian lingkungan hidup.

Otto Sumarwoto menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Temanggung tahun 1941 dan MULO di Yogyakarta tahun 1944. Otto merupakan Anak keenam dari 13 bersaudara dari ayah seorang pegawai DPU zaman Belanda. Pada waktu muda Otto bercita-cita jadi ahli pertanian, namun ia sempat nyasar menjadi pelaut, hanya karena senang melihat kapal. Dia memasuki Sekolah Tinggi Pelayaran di Cilacap (1944), kemudian sempat menjadi Mualim Kapal Kayu (1944-1945).

Namun cita- citanya menjadi ahli pertanian tak pernah padam. Maka selepas menamatkan Sekolah Menengan Atas di Yogyakarta tahun 1947, dia mendaftar di Fakultas Pertanian Klaten. Namun tiba-tiba Belanda datang menyerbu Indonesia, kemudian Otto bergabung ke TRIP 1948 – 1949. Setelah situasi tenang, pada tahun 1949 dia kembali kuliah di Fakultas Pertanian UGM, dan lulus dengan cum laude pada tahun 1954. Kemudian dia pun semangat mengajar di almamaternya. Sebelumnya dari tahun 1952, dia sudah menjadi Asisten Botani Fakultas Pertanian UGM.

Setelah lulus sebagai insinyur pertanian dari UGM, dia menjabat Asisten Ahli Fakultas Pertanian UGM pada 1955. Kemudian meraih gelar Doktor filosofi tanaman (Plant Physiology) dari Universitas California, Berkeley, AS dengan disertasi berjudul “The Relation of High Energy Phospate to Ion Absorption by Excised Barley Roots” pada tahun 1960. Saat pulang ke Indonesia, Otto kembali ke UGM dan menjadi Guru Besar Ilmu bercocok tanam di Fakultas Pertanian dan Kehutanan UGM.

Setelah beberapa tahun mengajar di UGM, kemudian Otto dipercaya menjadi Direktur Lembaga Biologi Nasional (LBN) di Bogor (1964-1972). Disini dia mendalami biologi molekuler, bidang yang memerlukan peralatan rumit dan mahal. Otto makin tertarik pada ekologi lingkungan, kendati masih terbatas pada ekologi tumbuh-tumbuhan.

Pada saat yang bersamaan, dia juga menjabat Direktur SEAMEO (South East Asia Ministers of Education Organization) dan Biotrop Bogor 1968 – 1972. Lalu sejak tahun 1972 dia aktif sebagai guru besar Tata Guna Biologi UNPAD. Selain itu, dia juga menjabat Direktur Lembaga Ekologi UNPAD 1972 yang kemudian mengubah namanya menjadi Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL). Sejak di lembaga tersebut, Otto dikenal sebagai seorang ahli yang sering melontarkan pernyataan kontroversial.

Pada tahun 1993 Otto bergabung dengan Business Council for Sustainable Development yang diketuai Bob Hasan, tokoh bisnis yang dikenal kontroversial dan sangat dekat dengan penguasa Orde Baru. Otto sadar bisa dituduh jual diri dengan menerima jabatan Direktur Eksekutif di lembaga yang melibatkan Bob Hasan tersebut. Tapi Otto punya alasan sendiri yang bukan soal ekonomi. Saat itu, ia melihat ada usaha dari penguasa kearah yang baik. Masalah lingkungan juga bisnis baru, seperti tekhnologi pengolahan limbah, serta tekhnologi pengurangan asap dan bau.

Saat pensiun, otto menerima “hadiah mewah” dari rekan – rekannya berupa seminar besar yang dihadiri 400 orang. Ini membuktikan bahwa ia memiliki dedikasi yang tinggi dalam lingkungan. Kepakaran tentang lingkungan hidup tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Terbukti pada tahun 1993, Otto memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Wageningen Agriculture University di Belanda, karena dinilai berjasa mengembangkan konsep pekarangan dan pemikiran tentang kaitan hutan dan lingkungan.

Setelah memasuki masa pensiun, Otto bukan berhenti begitu saja dari aktifitas keilmuannya, ia terus mengajar di UNPAD, UI dan UGM, pembicara diberbagai seminar dan diskusi. Bahkan setelah pensiun, Otto masih rajin membaca dan menulis. Karya tulisannya yang terakhir adalah Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta , UGM Press (2001).

Karya – karya dari Prof. Dr. Otto Sumarwoto antara lain :

1. The Alang – Alang Problem in Indonesia, paper, wasthe Tent Pasific of High School Biology Teaching in Indonesia, Kadarsan & O. Sumarwoto, IUCN Publications, 1968.
2. Ecological Aspects of Development, Elsevier Publishing Co, Amsterdam, Prinsip Sistem Penafsiran Pengaruh Lingkungan, Bandung, Lembaga Ekologi Unpad (1974).
3. Environmental Education and Research in Indonesian Universities, Singapore, Maruzen Asia : Jaring-jaring Kehidupan Mengenai Amdal, Indrapress, 1981.
4. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan (1983).

5. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama (1991).

Atas pengabdiannya pada lingkungan, Otto banyak menerima berbagai penghargaan, diantaranya yaitu Bintang Mahaputra Utama (1981), dan Satyalencana Kelas I (1982), dan Order of the Golden Ark dari Negeri Belanda.

Pejuang lingkungan Otto Sumarwoto (82) tutup usia di Bandung pada selasa, 1 April 2008, sekitar pukul 00.05 wib akibat sakit yang dideritanya. Kemudian dimakamkan di TPU Sirnaraga sekitar pukul 10.00. "Pendekar Lingkungan Hidup" dari UNPAD itu meninggalkan seorang istri Ny Ijah (78), tiga putri dua putra serta tiga orang cucu. Kepergian Otto Sumarwoto merupakan kehilangan yang sangat besar bagi dunia lingkungan hidup. Namun semangat dan karya-karyanya akan terus berjuang untuk melestarikan lingkungan.
(www.hpli.org)

Biografi "Emil Salim"

Emil Salim (lahir di Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930, adalah politikus Indonesia yang menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 10 April 2007 dan dilantik kembali untuk periode kedua pada 25 Januari 2010. Sebelumnya ia beberapa kali menjabat sebagai Menteri, antara lain Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas, Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan II 1973-1978), Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan III 1978-1983) dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V 1983-1993)

PENDIDIKAN
- Frobel School, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1935-1936)
- Europesche Lagere School, Banjarmasin (1936-1940), Lahat (1940-1942)
- Dai Ichi Syo-Gakko, Palembang, Sumatera Selatan (1942-1944)
- Sekolah Menengah Umum Pertama, Palembang (1945-1948)
- SMAN 1 Bogor, Jawa Barat (1948-1951)
- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1951-1958)
- University of California, Berkeley, Amerika Serikat, Department of Economics (1959-1964), (Master of Arts, 1962; Ph.D, 1964 dengan disertasi berjudul Institutional Structure and Economic Development)

KARIER
  • Tim Penasihat Ekonomi Presiden (1966)
  • Anggota Tim Penasihat Menteri Tenaga Kerja (1967-1968)
  • Anggota Tim Teknis Badan Stabilitas Ekonomi (1967-1969)
  • Dosen Seskoad dan Seskoal (1971-1973)
  • Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Bappenas (1971-1973)
  • Menteri Perhubungan (Kabinet Pembangunan II 1973-1978)
  • Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan III 1978-1983)
  • Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Kabinet Pembangunan IV-V 1983-1993)
  • Guru Besar FEUI (1983)
  • Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN-1999)

KARYA
  • Kembali ke Jalan Lurus (kumpulan esai 1966-1999)
  • Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1981)
  • Masalah Pembangunan Ekonomi Indonesia (1976)
  • Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan (1974)
  • Collection of Writings (1969-1971)
LAIN-LAIN
  • Anggota Korps Mobilisasi Pelajar Siliwangi (1950)
  • Ketua IPPI Bogor (1949)
  • Ketua Tentara Pelajar Palembang (1946-1949)
  • Anggota Kehormatan Persatuan Insinyur Indonesia (1992)
  • Ketua Tim Screening UNDP (1999)
  • Anggota Dewan Pembina Yayasan Kehati
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali (3-14 Desember 2007)

Jumat, 18 Juni 2010

PANGERAN DIPENOGORO

Diponegoro atau kadang dipanggil dengan gelarnya Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

ASAL USUL DIPENOGORO
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Meski demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelajar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires, (1947), tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri, namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

RIWAYAT PERJUANGAN
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

PERANG DIPENOGORO
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

PENANGKAPAN & PENGASINGAN
  • 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
  • 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
  • 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
  • 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
  • 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
  • 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
  • 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
(wikipedia)

Anda Adalah Pengunjung Blog Yang Ke :