Kamis, 19 November 2009

MASIH ADAKAH "NASIONALISME" ITU DIHATI KITA...?



“NASIONALISME DI BERBAGAI ASPEK”

BUDAYA
Sebagai salah satu bangsa yang besar dan bermartabat, sudah sepantasnyalah kita memberikan apresiasi yang penuh terhadap orang-orang terdahulu kita. Kepada merekalah kita harus memberikan penghargaan setinggi-tingginya, itu patut kita persembahkan karena atas jasa-jasa beliau para pahlawanlah kemerdekaan dapat diraih. Hal itu juga yang di perjuangkan mereka-mereka para pahlawan dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati memberikan ”warisan budaya”. Budaya rela berkorban merupakan salah satu warisan yang tidak bisa diukur dengan materi semata dan sepatutnyalah kita sebagai generasi penerus menjadi ahli wari dalam meneruskan perjuangan tersebut guna lebih memupuk jiwa nasionalisme yang lebih tinggi dalam mengisi kemerdekaan di era sekarang. Sudah barang tentu warisan ini adalah warisan yang memberikan kita bekal yang kuat dalam menjunjung nilai-nilai moral dan martabat suatu bangsa.
Sebagai salah satu contoh warisan tersebut adalah ”nasionalisme”. Terpikirkankah oleh mereka? Para pejuang masa penjajahan dahulu dalam mempertahankan kemerdekaan harus memilih-milih dahulu, Siapakah Kamu? Sukumu Apa? Agamamu Apa? Berasal Dari Golongan Mana? Sudahlah tentu pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan dibuang jauh-jauh manakala kita sudah sejengkal lagi berhadapan dengan penjajah yang bermental kolonial terhadap bangsa dan negara yang kita cintai ini, Mengapa?, karena hal-hal seperti tersebut dianggap sangat mengganggu serta menghambat rasa tekad bulat dalam mengusir penjajah serta akan merusak akar-akar sebuah nilai nasionalisme yang mutlak harus dijunjung tinggi.
Bagaimanakah kabar ”Budaya Nasionalisme” bangsa dan negara kita sekarang ini ?
Kemanakah ”nasionalisme” negara kita ini yang dulu selalu diagung-agungkan bahkan dijadikan sebagai ”sebuah pusaka” yang maha dahsyat dan ampuh dalam membentengi bangsa terhadap gelombang penjajahan ?
Sebuah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab sebagai warga negara dengan jujur, arif dan bijaksana sehubungan dengan kondisi bangsa & negara kita sekarang ini. Sebagai warga negara sekaligus ahli waris terhadap budaya pendahulu-pendahulu kita, tentu harus arif dan bijak terhadap kondisi-kondisi yang sudah ada sekarang ini. Sangat ironis memang bilamana pelbagai budaya positif bangsa ini mulai tergerus dengan globalisasi yang membawa sendi-sendi negatif dan amat tajam mengancam jati diri bangsa ini. Budaya bangsa yang selayaknya menjadi filter dan tulang punggung bangsa akan terkikis begitu saja dimakan oleh zaman.
Sudah selayaknyalah kita dianggap bangsa besar dengan menghargai warisan budaya nasionalisme para pejuang dalam mempertahankan harkat dan martabat bangsa dan negara ini. Pantas para pejuang dahulunya rela berkorban harta, nyawa dan keluarga demi keutuhan nilai-nilai nasionalisme yang para mereka anggap sebagai senjata yang maha ampuh dan sakti dalam melawan keangkuhan kolonialisme yang merajalela pada saat itu.
Sudahkah kita sebagai generasi penerus memiliki rasa ”nasionalisme” yang tinggi layaknya para pendahulu kita yaitu para pejuang-pejuang tersebut ?
Sebuah pertanyaan yang memiliki makna dan harapan yang sangat besar terhadap warga negara indonesia saat ini. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut sangat menggugah kita masing-masing untuk saling mengetuk sanubari dan hati kecil kita yang paling dalam. Hal tersebut sesekali memang perlu di pertanyakan mengingat mulai lunturnya nilai-nilai nasionalisme pada diri generasi sekarang. Kurang memaknai dan minim pemahaman terhadap semangat nasionalisme adalah sebagian dari salah satu sebab kenapa mental dan jiwa nasionalisme generasi sekarang semakin merosot.
Maka dari itu renungkanlah sejenak, tanyakanlah pada hati dan pikiran, masih adakah rasa ”nasionalisme” itu pada diri kita...?

EKONOMI
Sektor ini sangat berpengaruh bagi kemajuan suatu bangsa. Bangsa atau negara bisa dianggap maju dengan tolak ukur ekonomi yang kuat dan tangguh. Tetapi bagaimana cara agar ekonomi yang kuat tersebut memperkuat rasa nasionalisme juga bukan malah sebaliknya kalau ekonomi tersebut menjadi benalu dalam jiwa serta semangat nasionalisme.
Kita tengok sejenak apa peristiwa yang terjadi dinegara kita pada 11 tahun yang silam tepatnya pada bulan Mei 1998?
Sebuah peristiwa bersejarah kelam bagi bangsa yang besar dan komplek ini. Sejarah dimana akan menorehkan memori yang amat dalam di hati segenap rakyat Indonesia. Teramat pedih sejarah tersebut untuk dilupakan begitu saja, terutama bagi tonggak-tonggak perekonomian kita. Itulah awal era dimana ekonomi kita mulai terseok-terseok dihantam krisis yang paling ditakuti oleh segenap bangsa yang terkenal dengan keaneka ragaman status soial.. Bangsa kita layaknya seseorang yang terserang penyakit akut dan kronis yang datang secara tiba-tiba dan serba mendadak.
”Sang Dolar” yang menjadi raja dari alat perekonomian dunia dengan sombongnya mengobrak-abrik nilai ”Sang Rupiah” yang menjadi kebanggaan di tuan rumah yaitu bangsa Indonesia. Sang rupiah (Rp) yang sempat menembus Rp. 15.000/US$ semakin memporak – porandakan sendi-sendi perekonomian kita. Sampai-sampai dengan harga dollar yang melejit tersebut, aspek-aspek negara kita ini satu-persatu mulai mulai merasakan dampaknya. Beberapa contoh dampak sektor riil pada saat itu adalah :
- Laju ekspor kebeberapa negara pada merosot tajam.
- Angka pengangguran semakin meningkat akibat PHK massal.
- Harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat akibat imbas dari naiknya harga Bahan Bakar Mesin (BBM) yang memang pada saat itu sangat menjadi ketergantungan pada sektor industri.
Sedikit demi sedikit namun pasti dari komponen negeri yang paling tinggi yakni negara sampai ke komponen negara yang paling rendah yakni rakyat jelata merasakan imbas dari krisis ekonomi ini.
Dasar-dasar perekonomian pada saat itu diperlukan bertahan atau hancur sama sekali untuk mengatasi permasalahan bangsa ini. Pemikiran-pemikiran cemerlang pada saat itu sangat diharapkan untuk sedikit meredam gejolak yang semakin gencar terhadap pendapatan negara kita. Hal tersebut belum termasuk beban hidup rakyat menengah ke bawah yang semakin tertekan dengan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat dan melonjak. Tidak heran pada saat itu semua penghuni negara ini bertanya pada diri sendiri secara mendalam......Akan bangkrutkah negara kita ini kelak? Sebuah penggalan pertanyaan yang sangat miris di telinga rakyat sebuah negara yang dulunya mengalami kejayaan di bidang pangan dan agro atau bidang lain yang menjadi dasar penopang perekonomian kita.

KEPEMIMPINAN
Berkembangnya dan majunya suatu negara sangat bergantung kepada warga negara itu sendiri termasuk sosok pemimpin yang mempunyai kapabilitas, kapasitas, loyalitas dan personalitas yang tinggi dalam memimpin warga negaranya. Kemajemukan suatu bangsa sangat membutuhkan tangan-tangan terampil dan cekatan dalam menangani permasalahan negara dan itu sangat memerlukan suatu kemampuan yang lebih agar tidak sedikitpun merugikan sesuatu pihak manapun atau sebaliknya.
Melihat sejarah pemimpin bangsa negara yang kita cintai ini, tentunya tidak lepas dari kebijakan-kebijakan yang telah ditorehkan oleh pemimpin-pemimpin kita tersebut. Hal yang demikian sangat perlu kita maklumi karena setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Tetapi bukan berarti dengan perbedaan gaya kepemimpinan tersebut, lantas jati diri bangsa diabaikan begitu saja. Sungguh sangat ironis bilamana seorang pemimpin lebih dominan ”idealisme” pribadi dari pada mementingkan sebuah ”idealisme” bangsa dan negara.
Sebuah naluri kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi harus menjadi tameng dasar bagi pemimpin negara yang besar seperti bangsa Indonesia ini. Suatu bangsa yang sangat membutuhkan rasa solidaritas negara yang kuat walaupun negara kita memiliki penghuni yang berada pada perbedaan agama, suku, bahasa dan budaya yang beragam. Sosok pemimpin bagaimanakah yang akan menjadi sosok yang tepat untuk negara kita ini? Sebuah pertanyaan yang memiliki peranan penting terhadap kondisi yang ada di negara kita ini. Jawaban yang tepat adalah sosok yang mampu bekerja keras dan tekat yang bulat untuk menjadikan ”perbedaan-perbedaan” diatas berada dalam satu wadah yaitu ”nasionalisme”. Karena hanya dengan rasa nasionalisme yang tinggi maka persatuan dan kesatuan warga negara bangsa kita ini bisa terwujud, walupun di sana terdapat perbedaan suku, agama, dan budaya diantara mereka masing-masing.

SOSIAL
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa kita memiliki rasa sosial yang sangat beragam, dari yang berkehidupan dikota maupun di pedesaan. Hal ini dipengaruhi oleh keberagaman semua sisi yang berada di negara kita. Nilai-nilai sosial masih kental karena budaya yang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia, itu karena mereka memegang tradisi yang diwariskan dari pendahulu mereka. Kehidupan sosial dinegara kita masih sangat memprihatinkan karena masih adanya jurang pemisah antara dua kehidupan sosial yang berbeda. Hubungan sosial yang erat antara dua hubungan atau lebih seyogyanya menguatkan ikatan nasionalisme yang tinggi akan berubah kenyataannya karena kondisi hubungan sedemikan rupa kurang terpatri di segenap masyarakat kita di Indonesia.
Mengambil contoh yang sederhana dari sebagian besar hubungan sosial antara si Kaya dan si Miskin di negara kita ini. Sebuah realita sosial yang sangat-sangat jelas patut membukakan mata kita. Sebuah hubungan perbedaan yang mestinya menjadi satu kesatuan yang saling membutuhkan dan memupuk persaudaraan, itulah sumber dimana suatu rasa kebersamaan akan menjadi cikal bakal suatu rasa nasionalisme yang begitu tinggi di tingkat bawah yakni masyarakat. Mungkin pada awalnya kita akan bertanya-tanya kepada diri kita sendiri, segitu besarkan rasa kebersamaan di tingkat bawah akan memupuk rasa nasionalisme secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jawaban ”ya” adalah jawaban satu-satunya yang masuk akal, mengapa demikian? Sebuah niat yang besar berawal dari niat kecil yang akhirnya bermuara dan berujung pada berkembangnya ke semangat yang lebih besar. Nah disinilah semangat nasionalisme yang besar akan terpupuk dari niat yang mulia dari hubungan terkecil seperti di atas yaitu hubungan antara si miskin dan si kaya, pengusaha dan karyawan serta tidak kalah penting adalah hubungan sosial antara pemimpin dan yang dipimpin.
Hubungan baik di tingkat yang lebih bawah akan memberi pengaruh positif pula terhadap hubungan sosial di tingkat yang lebih tinggi pula. Hubungan yang positif dan mengarah ke persatuan dan kesatuan bangsa ini akan semakin mempererat hubungan dan semakin erat hubungan sosial tersebut maka akan terjalin pula rasa nasioanalisme yang sangat tinggi terhadap keutuhan dan kekuatan suatu bangsa dan negara.


oleh_HARIYANTO

Senin, 09 November 2009

GAJAH

Standar pelatihan gajah sirkus: Ketika masih kecil, gajah sirkus dirantai kakinya, setiap akan jalan melangkah, dia terjatuh tertahan rantai, tersungkur.

Setelah berkali kali tersungkur, dia tidak lagi berani berjalan bila ada rantai di kakinya.

Waktu sudah dewasa, bila ada rantai di kakinya, maka gajah itupun tidak akan berani berjalan lagi. Padahal badan nya sudah berubah besar dan tenaganya hebat, dan pasti rantai itu tidak akan mampu menahannya.

Sang gajah tidak berani mencoba berjalan lagi, karena dalam ingatannya dia akan tersungkur bila mencoba. Di otaknya ada rantai. Kakinya bisa dengan mudah merdeka, tetapi jiwanya terantai.


*** Kita dibentuk oleh rantai2 kaki dalam hidup kita. Keyakinan orang2 sekeliling kita, adat istiadat kita, ajaran dan pendidikan kita, menjadi rantai pengatur hidup kita, dan kita tidak perduli lagi walau itu telah usang, dan tidak benar lagi pada saat ini.

Setiap manusia berada pada penjara pengalamannya sendiri. Ketakutan dan kekhawatiran dan pembatasan terjadi karena kita terbentuk oleh masa lalu kita. Kita telah ditakdirkan berada didalam penjara jiwa kita.

Yang tidak kita sadari adalah pintu penjara sebenarnya telah lama bisa dibuka, gemboknya sudah terbuang, tetapi kita tidak lagi pernah mencoba membuka pintu itu, dengan asumsi bahwa kita pasti tidak mampu membukanya karena dulu kita tidak pernah mampu membukanya. Kita salah, seperti juga sang gajah. Sudah waktunya kita keluar dari penjara kita. Sekarang.

TIKUS BERTENAGA HARIMAU

Alkisah ada seekor tikus yang mengadu kepada Tuhan. "ya Tuhan mengapa engkau jadikan aku tikus ? aku selalu dikejar-kejar kucing. Jadikanlah aku kucing yang paling kuat supaya aku tidak perlu takut lagi". Tuhan mendengar doanya dan segera "blar" tikus itu menjadi kucing besar yang kuat.

Setelah menjadi kucing, tikus ini merasa bangga dan dia menjadi kucing jagoan. Sampai akhirnya ketemu dengan anjing galak yang ditakutinya.

Tikus ini menghadap lagi pada Tuhan : "oh Tuhan ternyata kucing itu lemah sekali ... coba jadikanlah aku anjing yang paling besar supaya aku bisa aman hidup di dunia ini". Dan Tuhan baik untuk menjadikannya anjing yang paling kuat (rottweiler kali ya ...)

Maka si tikus yang jadi anjing sekarang paling jagoan di kampung itu ..... tapi waktu dia jalan-jalan ke hutan, dijumpainya harimau besar yang sangat mengerikan .... dia lari pontang-panting.
Dalam doanya si tikus berkata "sekali lagi Tuhan ... tolong saya, jadikan aku sebagai raja hutan. jadikan aku harimau supaya aku bisa mengalahkan semua binatang lain".

Tuhan menjawab : "Hai Tikus... selama hatimu tikus, sekalipun... badan jasmani kamu, status kamu, menjadi sebesar kucing, anjing, harimau atau apapun ....? keberanianmu tetaplah tikus. Lebih baik kamu berdoa supaya sekalipun badanmu tikus, tetapi hatimu sekokoh harimau.... sehingga sekalipun badanmu tikus, engkau tetap tidak akan ketakutan terhadap apapun".

Dalam kehidupan ini terkadang kita seperti tikus tidak pernah puas dengan apa yang kita miliki kita selalu ingin menjadi seperti orang lain, selalu iri dengan setiap kesuksesan dan keberhasilan orang lain sementara kita tidak pernah bercermin diri. kita ingin sama dan sukses seperti lainnya kita berdoa setiap hari, Tuhan berikan aku ini, berikan aku itu, tetapi daya juang kita hanyalah sebesar kekuatan tikus. setiap menghadapi masalah langsung mundur teratur... kita berharap yang luar biasa tetapi tetap melakukan hal yang biasa. "Mengharap hasil yang luar biasa dengan tetap melakukan hal biasa adalah suatu kegilaan" Pilihan ditangan kita.... Mau seperti tikus namun berhati seteguh harimau ? atau.... seperti harimau berhati tikus.

Anda Adalah Pengunjung Blog Yang Ke :